Hai teman... yang setia baca blog ini. Membaca secuil cerita yang terkadang
Absurd hehehe...
Happy New Year 2015 !!! :)
Semangat, semoga bisa lebih baik lagi...
Pada kali ini, saya mau share short story nih yang terinspirasi dari
lagunya Marcel - Peri Cintaku...
Oke,,, langsung aja Have Fun. Biar Greget
*****************************************************************************
“Jujur, Intan suka sama kamu. Kamu baik, perhatian,
pintar, lucu bahkan ganteng tapi ...” Intan terdiam sejenak dan menarik napas
“sayangnya kita berbeda.”
Intan menatap pantulan wajahnya dicermin lalu
menggigit bibirnya pelan. Sekuat tenaga ia berusaha menahan agar air matanya
tidak tumpah. Memorinya kembali berputar, kembali kemasa dua tahun yang lalu.
Ya, semua berawal dari sana, dari pernyataan cinta Brian dua tahun yang lalu.
***
“Kalau kita pacaran gimana ya Tan?”
Seketika Intan menatap Brian heran. Bagaimana tidak, rasanya tadi mereka berdua tengah
membicarakan presentasi project untuk besok,
kenapa tiba-tiba Brian bertanya seperti itu?
“Ga nyambung deh
Io, kita lagi ngomongin presentasi project besok nih….” Kata Intan sambil
kembali menekuni pekerjaannya.
“Iya tahu…. Tapi
jawab dulu dong Tan.”
“Apanya yang harus
dijawab? Io pasti cuma mau godain doang kan?” Kata Intan dengan nada jutek. Dirinya memang sudah
berkali-kali diisengi Brian seperti itu.
“Kalau serius
gimana?”
Intan kembali menatap Brian. Kali ini Brian tengah menatapnya dengan pandangan serius. Brian benar-benar tidak bercanda.
“Io beneran
serius?”
“Memangnya aku
bisa bercanda untuk urusan seperti ini?”
“Bisa….” Jawab Intan cuek.
“Kali ini aku
beneran serius Intan…. Jadi jawab dong….”
Intan tampak berpikir sebentar lalu berkata, “Ya ga gimana-gimana.”
“Hah?!”
“Loh, tadi kan Io
nanya, ‘Kalau kita pacaran gimana ya Tan?’ ya ga gimana-gimana. Toh Io tadi ga nembak kan?”
Brian tampak menghela napas pelan. “Kalau gitu aku ganti deh pertanyaannya. Intan mau ga jadi pacarku?”
Intan baru saja akan tertawa mendengar perkataan Brian barusan, tapi seketika diurungkannya saat
melihat keseriusan yang terpancar dari wajah pemuda itu. Tak ada senyum jahil
yang tampak seperti saat setiap kali Brian menggodanya. Intan berusaha
menyamankan duduknya dan ikut menatap Brian.
“Intan boleh jujur?”
Intan melanjutkan perkataannya saat melihat Brian mengangguk, “Jujur, Intan suka sama kamu. Kamu baik,
perhatian, pintar, lucu bahkan ganteng tapi ...” Intan terdiam sejenak dan
menarik napas “sayangnya kita berbeda.”
“Maksudmu, soal
kepercayaan?”
“Iya.” Intan menjawab pelan sambil menunduk.
“Aku juga tahu itu Tan, tapi tak bisakah kita mencoba dulu?”
“Io tahu sendiri
bagaimana keluarga Intan. Begitu juga keluarga Io. Mereka pasti tak senang
jika kita pacaran,” Ujar Intan sambil
mengangkat wajahnya. Tampak jelas dimatanya bahwa Brian sedang menatapnya penuh harap. “Lagi pula, apa
kata teman-teman nanti?” Tambahnya lagi sambil kembali menunduk.
Seketika
keheningan tercipta diantara mereka. Sampai akhirnya.
“Gimana kalau kita
backstreet aja?”
“Hah?!” Intan melotot mendengar usulan dari Brian.
Backstreet?
***
Dua tahun berlalu
sejak Intan dan Brian resmi berpacaran. Ralat, resmi backstreet. Tidak ada rintangan yang
berarti dalam hubungan mereka selama ini.
Hingga suatu
hari….
“Assalamualaikum….”
Salam Intan sambil memasuki rumahnya.
“Waalaikumsalam….
Kenapa baru pulang Tan?” Balas ibunya.
“Loh, Ibu sama
Bapak kenapa ada di ruang tamu? Tadi ada tamu ya?” Intan malah balik bertanya.
“Kamu tuh ya,
kalau ditanya tuh jawab, bukannya malah balik nanya.” Tegur bapaknya.
“Tadi kita ada
tamu penting Tan. Mereka nungguin kamu loh. Tapi karena kelamaan
mereka akhirnya pulang deh. Kalau saja ibu tahu kamu pulang sekarang, ibu minta
mereka tunggu sebentar lagi.”
“Tamu penting?
Nungguin Intan? Siapa bu?” Tanya Intan penasaran. Ia pun ikut duduk di samping ibunya.
“Itu loh. Calon
tunangan kamu.”
“Hah?! Apa bu?
Calon tunangan?”
“Aduh, bapak aja
deh yang jelasin!” Ibu terlihat serba salah.
“Pak, Bu, ada
apa sebenarnya? Calon tunangan apa? Jelasin Intan!” Intan tampak marah dan benar-benar kebingungan. Apa
sebenarnya maksud orangtuanya ini?
“Kamu tenang
dulu ya Tan,” kata Ibu sambil merangkul pundak Intan. Ditatapnya bapak seolah mengisyaratkan agar dia
menceritakan semuanya pada Intan.
“Begini Tan, bapak dan ibu bermaksud menjodohkan kamu dengan anak
teman bapak. Makanya bapak bermaksud mengenalkanmu pada mereka tadi. Eh, kamu
malah pulang telat.”
“Dia anaknya
baik kok Tan, ganteng, dan yang pasti dia soleh,” tambah Ibu.
“Kenapa Bapak
sama Ibu ga nanya Intan dulu? Kenapa tiba-tiba gini sih?!” Intan berusaha menahan tangis yang hampir pecah.
“Kami kira kamu
pasti setuju. Usiamu kan sudah cukup untuk memiliki pendamping, sebentar lagi
kamu juga lulus kuliah. Lagipula kamu belum punya pacar kan?” Tanya bapak.
Pacar? Ingin
rasanya Intan berteriak kalau dia sebenarnya sudah punya
pacar. Tapi apa yang akan dikatakan kedua orangtuanya nanti jika mengetahui
siapa pacarnya.
“Intan? Kamu kenapa nangis sayang? Kamu ga
setuju dengan perjodohan ini?” Tanya Ibu panik sambil menghapus air mata yang
mengalir di pipi Intan.
Ya, tanpa disadari air mata telah mengalir
deras di pipi Intan. Intan menangis, dia menangis dalam diam.
***
“Intan!” Brian berlari menghampiri Intan yang
tengah duduk di salah satu bangku taman.
“Intan, kamu kenapa?” Tanya Brian begitu
sampai dihadapan Intan. Pemuda itu langsung berlutut dihadapan Intan,
menyesuaikan tinggi badannya dengan gadis yang sedari tadi diam menunduk itu.
“Tan?” Perlahan Brian menyentuh kedua pipi
Intan dan mengangkat wajah gadis itu. Betapa terkejutnya Brian saat melihat air
mata yang mengalir deras dari kedua bola mata bening milik Intan.
Pantas saja saat di telpon tadi suara Intan terdengar parau, tampaknya sudah lama Intan menangis. Pasti ada sesuatu yang tidak beres sampai Intan memanggilnya ke taman malam-malam begini.
Pantas saja saat di telpon tadi suara Intan terdengar parau, tampaknya sudah lama Intan menangis. Pasti ada sesuatu yang tidak beres sampai Intan memanggilnya ke taman malam-malam begini.
“Ada apa sebenarnya Tan?”
Cerita pun mengalir dari bibir mungil
Intan sambil sesekali disertai isakan. Brian mendengarkan semuanya dalam diam.
Dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.
“Bapak dan Ibu bilang ada waktu sebulan
untuk Intan mengenal calon tunangan Intan. Karena pertunangannya akan
dilaksanakan sebulan lagi, tepat dihari ulang tahun Intan.” Intan mengakhiri
ceritanya sambil menghapus air mata yang masih saja keluar dari matanya.
***
Sebulan berlalu, tak terasa besok adalah
hari ulang tahun Intan, sekaligus hari pertunangannya dengan Iqbal—pemuda yang
dijodohkan oleh orangtuanya.
Intan memandang undangan di tangannya.
Satu-satunya undangan yang belum Intan serahkan. Undangan itu untuk Brian.
Sudah sebulan Intan tak pernah mendapat kabar dari Brian. Ya, sejak pertemuan
terakhir mereka di taman sebulan yang lalu, Brian bagaikan menghilang. Telpon
dan SMS Intan selalu diabaikan. Begitu pula setiap Intan datang ke rumahnya,
Brian tak pernah ada.
Tiba-tiba Intan bangkit dari duduknya dan
menyambar cardigan yang tergantung di balik pintu. Ia berlari menuruni tangga
rumahnya dan pergi keluar.
“Intan? Kamu mau kemana?!” teriak ibunya
saat melihat Intan yang begitu terburu-buru pergi.
“Nganter undangan…. Kemarin ada yang
ketinggalan bu!” balas Intan sambil mulai menstater motornya. Sebentar kemudian
dia sudah melaju, membelah keramaian malam.
***
Tok tok tok….
“Iya, sebentar!”
Intan mengalihkan pandangan ke garasi di
rumah yang ia kunjungi itu. Garasi itu tampak kosong, yang artinya penghuni
rumah ini sedang tidak ada di tempat.
“Mbak Intan?”
“Bi Sum,” Intan tersenyum pada wanita
setengah baya yang kini berdiri dihadapannya.
“Asik sekali melamunnya. Sampai gak sadar
kalau saya sudah bukakan pintu.” Bi Sum balas tersenyum. “tapi mbak, mas
Brian-nya belum pulang tuh.” Tambah Bi Sum yang sepertinya menyadari maksud
kedatangan Intan.
“Gak apa-apa bi, Intan Cuma mau nitip ini
buat Brian,” Intan memberikan undangannya pada Bi Sum. “Bilang ke Brian, Intan
tunggu kedatangannya.”
“Undangan apa ini mbak?” Tanya Bi Sum
sambil mengamati undangan yang diberikan Intan.
Intan hanya tersenyum menjawab pertanyaan
itu. “Intan pamit dulu ya bi!”
“Loh, kenapa buru-buru mbak? Minum dulu
yuk!”
“Udah malem bi, ga enak sama ibu dan bapak
di rumah. Intan pulang ya bi, selamat malam.”
“Ah, iya hati-hati di jalan ya mbak!”
Intan melangkahkan kaki menuju motornya
yang ia parkirkan di depan rumah Brian. Sebelum pergi Intan menyempatkan diri
mengamati rumah itu, untuk terakhir kalinya.
Tanpa ia sadari ada orang yang tengah
memandangnya dari balik tikungan jalan. Di dalam sebuah mobil mewah seseorang
memandangnya rindu.
***
“Intan, ayo turun…. Acaranya mau dimulai!”
panggil ibu sambil mengetuk pintu kamar Intan.
Panggilan ibu itu menyadarkan Intan dari
segala lamunannya tentang Brian. Intan menghela napas sebentar sebelum akhirnya
menjawab, “iya, sebentar bu!”
Intan mengambil smartphone miliknya dan
memutar sebuah voice note yang baru diterimanya tadi malam. Voice note dari
Brian!
Intan memejamkan matanya, menghayati lagu
yang dinyanyikan Brian di voice note itu. Sebuah lagu yang menggambarkan mereka
berdua. Marcell, peri cintaku.
***
“Minum Tan….” Iqbal menyodorkan gelas
berisi sirup pada Intan. Intan tersenyum dan mengambil gelas itu dari Iqbal.
Acara pertunangan mereka telah berlangsung. Saat ini mereka berdua tengah
berkeliling memberi salam pada tamu undangan. Jika bukan karena disuruh ibunya,
Intan pasti tidak akan mau melakukan ini. Berpura-pura tersenyum ramah pada
orang-orang yang sebagian besar tidak dikenalinya.
“Intan!”
Intan menoleh dan mendapati Wulan dan Ana
yang tengah melambaikan tangan mereka sembari berjalan kearahnya. Mereka berdua
adalah sahabat Intan di kampus, sekaligus teman satu organisasinya. Sama
seperti Brian. Brian? Intan menggelengkan kepalanya kuat-kuat saat nama Brian
kembali terlintas di benaknya.
“Intan… selamat ya!” Ana memeluk Intan
erat.
Disampingnya Wulan berdiri, tersenyum pada
Intan dan Iqbal. “Selamat ya kawan! Ngomong-ngomong tadi Brian udah kesini ya
Tan?”
“Hah?” Intan terkejut. Brian?
“Tadi kita lihat di luar. Waktu aku ajak
masuk dia ga mau. Makanya aku kira tadi dia udah kesini dan mau pulang,” tambah
Wulan.
Brian? Brian disini? Dia datang?!
Tanpa pikir panjang Intan langsung berlari
keluar. Tak dipedulikannya teriakan Iqbal yang berkali-kali memanggil namanya.
Tak dipedulikannya pandangan orang-orang yang menatapnya heran. Bahkan Intan
sudah tidak peduli lagi pada air mata yang mulai mengalir membasahi pipinya.
Yang ada dalam pikirannya hanya satu. Dia harus bertemu Brian!
***
“Brian!”
Brian tersenyum tipis saat melihat Intan
keluar dan berlari ke arahnya. Intan berhenti tepat satu langkah di depan
Brian. Intan menggigit bibirnya, berusaha menghentikan air matanya yang terus
mengalir.
“Selamat ulang tahun Intan,” kata Brian
sambil mengeluarkan kotak kecil berwarna ungu dari saku celananya. “Bukalah,”
tambahnya sambil menyerahkan kotak itu pada Intan.
Intan menerimanya dan menatap Brian heran
seolah bertanya ‘apa ini?’
“Itu hadiah ulang tahunmu,” kata Brian
sambil kembali tersenyum tipis. “Maaf kalau tidak seberapa. Tadinya aku ingin
memberimu cincin untuk ulang tahunmu tahun ini. Tapi tampaknya sudah ada yang
mendahuluiku.” Tambahnya sambil melirik cincin yang melingkar indah di jari
manis Intan. Hal itu membuat Intan refleks memegang cincinnya dan menunduk, tak
berani memandang mata Brian.
“Buka dong hadiahnya Tan. Masa dipegang
doang.”
Ragu-ragu Intan membuka hadiah dari Brian.
Sebuah kalung perak dengan bandul huruf I tersimpan rapi di dalam kotak
tersebut. Intan kembali menggigit bibirnya dan menatap Brian. Pandangan mereka
bertemu.
“Suka?” Intan mengangguk dan berusaha
tersenyum menjawab pertanyaan Brian tersebut.
“Boleh aku pasangkan Tan?” Intan kembali
mengangguk. Dia benar-benar sudah tidak sanggup berkata-kata.
Brian mengambil kalung tersebut dari
kotaknya dan berdiri di belakang Intan. Dipasangkannya kalung itu dileher
jenjang gadis didepannya.
Intan menggenggam bandul huruf I yang kini
menggantung di lehernya itu. Pertahanannya jebol. Air matanya kembali mengalir.
“Jangan menangis lagi Tan. Karena aku
sudah tidak berhak menghapus air matamu,” kata Brian lirih saat kembali
kehadapan Intan.
Perkataan Brian itu kembali membuat Intan
menunduk dan buru-buru menghapus air matanya.
“Kamu sudah dengar voice note dariku? Seperti kata lirik lagunya, aku akan pergi.”
“Kamu sudah dengar voice note dariku? Seperti kata lirik lagunya, aku akan pergi.”
“Pe, pergi?” Intan menatap Brian,
terkejut.
“Ya, aku akan pergi dari hidupmu. Paling
tidak sampai kita berdua bisa menghapuskan cinta ini dari hati kita.”
“Pe, pergi kemana?”
“Aku menerima tawaran untuk melanjutkan S2
ke Jerman. Tawarannya sudah lama, tapi aku baru menerimanya sebulan yang lalu.
Mungkin aku pengecut karena lari darimu, tapi kurasa ini jalan terbaik untuk
kita berdua.”
“Ka, kapan kau akan pergi?”
“Sekarang.”
“Apa?! Sekarang?”
“Iya. Programnya akan dimulai dua minggu
lagi jadi aku harus buru-buru pergi. Selama sebulan ini aku sibuk mengurus
kepindahanku, maaf kalau aku tak sempat menghubungimu. Tadinya aku juga tidak
akan datang kesini. Tapi aku pasti akan jadi orang paling jahat di dunia kalau
pergi dalam keadaan seperti ini.”
“Ah, sudah waktunya aku pergi.” Kata Brian
sambil melirik jam di pergelangan tangannya. “Selamat atas pertunanganmu,
semoga kamu bahagia Tan.”
Baru saja Brian berbalik dan melangkah
Intan langsung menahannya. Digenggamnya lengan pemuda itu dan berkata, “Intan
sayang kamu.”
Brian kembali berbalik. Ditatapnya gadis
manis yang tengah menatapnya sambil tersenyum itu. Senyum sarat kesedihan.
“Terima kasih untuk dua tahun ini ya kamu.
Intan benar-benar bersyukur bisa mencintai kamu. kamu sudah mengajari Intan tentang
arti cinta…” Intan terdiam sebentar, “dan arti perbedaan.”
“Aku juga tidak pernah menyesal sudah
mencintaimu.” Kata Brian sambil mengelus pipi Intan lembut. “Tapi sekarang aku
harus pergi. Dari hidupmu, dan dari hatimu.”
Intan menatap Brian yang melangkah
memasuki mobilnya. Air matanya kembali mengalir saat melihat mobil itu melesat
pergi, pergi membawa cintanya.
*****************************************************************************
THE END
Mohon maaf apabila terdapat kesamaan nama, tempat dan lain-lain karena cerita ini bersifat fiktif belaka...
Memahami arti sebuah perbedaan...